Monday 12 June 2017

Sufi dan Puisi 3

Beberapa waktu kemudian, saya menemukan buku tua karangan Anthony de Mello bertajuk The Song of the Bird terbitan tahun 1982. Tiba di halaman 196-197, saya menemukan puisi yang perawinya dinisbahkan kepada Bayazid, seorang sufi besar. Isinya kurang lebih sama dengan puisi "I Wanted to Change the World"... mari kita baca.


The Sufi Bayazid says this about him-self:
‘I was a revolutionary when I was young
and all my prayer to God was:
‘Lord, give me the energy to change
the world.’

‘As I approached middle age and realised   
that half my life was gone without my    changing a single soul, 
I changed my    prayer to: ‘Lord, give me the grace to     change all those who come in contact   with me. 
Just my family and friends,  and I shall be satisfied.’

‘Now that I am an old man and my days  are numbered, 
I have begun to see how   foolish I have been. 
My one prayer now   is, ‘Lord, give me the grace to change    myself.’ If I had prayed for this right  from the start I should not have wasted my life.’

The point is: khazanah Islam miliki kekayaan literatur yang tak kalah menarik dari khazanah-khazanah lain. Dan menerjemahkan kekayaan literatur tersebut ke dalam bahasa Indonesia adalah bagian dari sikap apresiatif.

Sufi dan Puisi 2

Dahulu, di dalam sebuah buku garapan Alumni NH saya menemukan sebuah puisi bertemakan 'gunakan masa mudamu sebelum masa tua itu datang' dan 'ibda binafsik' ... puisi yang saya temukan itu sudah berupa terjemahan. Saya, lalu, menelusuri versi Inggrisnya dan menerjemahkan sekenanya. Here we go.



“I wanted to change the world”
Pernah, saya ingin merubah dunia

When I was a young man,
Dahulu ketika saya muda
I wanted to change the world
Saya ingin merubah dunia
I found it was difficult to change the world,
Ternyata merubah dunia itu tidak mudah
so I tried to change my nation.
Lalu saya putuskan untuk merubah negara
When I found I couldn’t change the nation,
Ketika merubah negara juga tidak mudah
I began to focus on my town.
Saya putuskan merubah kota saja
I couldn’t change the town
Ternyata merubah kota juga tidak bisa
and as an older man, I tried to change my family.
Ketika perlahan menua, saya putuskan merubah keluarga saja

Now, as an old man,
Kini, saya benar-benar tua
I realize the only thing I can change is myself,
Saya sadari satu-satunya yang bisa diubah adalah diri saya
and suddenly I realize that if long ago I had changed myself,
Tiba-tiba terbersit pencerahan. Jika saja sedari dulu saya berubah
I could have made an impact on my family.
Pastilah keluarga saya telah turut berubah
My family and I could have made an impact on our town.
Perubahan saya dan keluarga mestinya telah berdampak pada kota
Their impact could have changed the nation
Perubahan saya, keluarga, dan kota pastilah berimbas pada negara
and I could indeed have changed the world.
Dan jika itu semua terjadi, saya tentunya telah merubah dunia.



Translated freely by Dedi Irwansyah 

Silakan baca Sufi dan Puisi 3


Saturday 10 June 2017

Sufi dan Puisi (Abu Nawas Al-I'tiraf)



Kennedy (2005:1-3) dalam karyanya Abu Nuwas: A Genius of Poetry -- terbitan Oneworld, Oxford – mencatat figur Abu Nuwas itu nyata. Nama aslinya adalah Abu ‘Ali al-Hasan ibn Hani’ al-Hakami, lahir di suatu daerah di Persia. Nama Abu Nuwas adalah nama panggilan ketika ia belajar di Iraq. Yang tidak banyak diketahui, Abu Nuwas adalah seorang penghafal al-Qur’an.

Di Indonesia, yang dikenal adalah Abu Nawas. Nuwas menjadi Nawas. Abu Nawas diyakini sebagai pengarang syair Al-I’tiraf , lagu yang cukup populer di Indonesia hingga kini. Wallahu a’lam. Versi Arab dan Indonesia dari syair Al-I’tiraf relatif mudah dijumpai, namun tidak versi Inggrsinya.


Al-I’tiraf  (Acknowledgement)
Abu Nuwas

Illahi lastu lil Firdausi ahlaan
O Allah, I don’t deserve your paradise
Wa la aqwa ‘alannaril jahimi
But I can’t withstand your hellfire,
Fahabli taubatan waghfir dzunubi
So accept my repentance and forgive my sins,
Fainnaka ghafirudz dzambil ‘adziimi
As I believe in Your forgiveness of sins


Dzunubi mitslu ‘adadirrimaali
My sins are as much as the sands at the beach,
Fahabli taubatan ya dzal jalaali
So accept my repentance oh Who Have All the Greatness
Wa’umri nhaqisun fi kulli yaumin
My lifetime decreases each and every day,
Wa dzambizzaidun kaifa intimaali
But my sins increase, I can’t help it

Illahi ‘abdukal ‘aasi ataaka
O Allah, this sinful servant of Yours comes to face You
Muqirrambidz dzunuubi waqadda’aaka
Indeed I have sinned and I asked of You,
Fain taghfir fa anta lidzaka ahlu
If you forgive indeed You forgive sins,
Wa intatrud famannarjuu siwaaka
But if You refuse, to whom else should we pray to

Diterjemahkan sekenanya oleh Dedi Irwansyah

Sufi dan Istri Empat


Credit: STORYLINE dari cerita berikut ini saya dengar dari K.H. M. Saleh, Dosen STAIN Metro dan Ketua MUI Kota Metro pada kultum Ramadhan 23 Agustus 2011 di Masjid Adzkiya. Jika ada kebaikan dari penceritaan ulang ini, semoga kebaikannya dialirkan kepada beliau.

***

Tengah malam. Hening.
Detak jarum jam terdengar di sela tangis-tangis lirih yang ditahan.
Di ruang tengah sebuah rumah besar, seorang lelaki tua terlihat terbaring menunggu ajal. Sesekali ia menyebut-nyebut nama-nama keluarganya yang telah meninggal dunia. “Tenanglah Kanda, segalanya akan baik-baik saja.” seorang wanita tua mencoba menenangkan si lelaki itu.
Jika dilihat lebih dekat. Ada empat wanita, dengan variasi umur, tengah mengitari lelaki sekarat itu. Iya, lelaki kaya raya itu miliki empat istri. Istri pertamanya, sebaya dengannya. Istri kedua, lima tahun lebih muda darinya. Istri ketiga sepuluh tahun, dan istri keempat dua puluh tahun lebih muda dan lebih cantik dari istri pertama dan kedua.
“Wahai istri-istriku. Rasa-rasanya waktuku tak lama lagi. Sesekali aku seperti melihat bayang-bayang keluargaku yang telah wafat. Mungkin mereka hendak menjemputku." ujar lelaki itu.
“Tidak Kanda. Kanda akan segera sembuh.” sergah istri pertama.
“Ah. Terima kasih, tapi lupakanlah! Aku hanya ingin tahu, jika aku meninggal nanti, sampai mana kalian akan mengantarkanku?” tanya sang suami.
“Aku akan mengantarmu sampai gerbang rumah kita Kanda.” jawab istri keempat.
“Aku lebih baik, karena akan mengantar kanda hingga ke pemakaman.” tukas istri ketiga.
“Aku lebih baik dari mereka Kanda karena aku akan masuk ke liang lahat bersama Kanda.” berkata istri kedua.
“Terima kasih. Lalu bagaimana denganmu wahai istri tertua?” tanya si lelaki.
“Jangan khawatir Kanda. Adinda akan menyertai Kanda hingga ke hadapan-Nya.” jawab istri pertama.

***
Begitulah.
Cerita-cerita Sufi kerap bertabur metafora.
Istri keempat adalah perlambang harta benda. 
Istri ketiga adalah keluarga yang mengantar kita sampai pemakaman.
Istri kedua adalah raga yang selama hidup kita rawat yang meski menemani hingga liang lahat, akan murca seiring waktu.
Istri pertama adalah amal ibadah. Syahdan, di alam sana setiap kita akan miliki pendamping sesuai amal perbuatan. Jika amal baik, cantiklah pendamping kita itu. Dan jika buruk, yang terlihat adalah monster.

Dalam banyak kasus kehidupan di dunia, istri pertama cenderung kalah menarik dibanding istri kedua, ketiga, dan keempat. Padahal, justru istri pertama atau amal ibadah lah teman dan pasangan sejati itu.


Diceritakan kembali sekenanya oleh Dedi Irwansyah

Thursday 8 June 2017

Sufi dan Musisi Tua

Seorang sahabat mengirimkan saya sebuah buku bagus berjudul Tales from the Land of the Sufis karangan Bayat, M. & Jamnia, M.A.(1994). Kisah yang saya sadur berikut ini bersumber dari buku keren itu. Semoga kebaikan penceritaan ulang ini dialirkan kepada sahabat saya itu. Here we go ...



No one has ever lost when he has put his trust in God” (Abu Sa’id, a Sufi)


Petang hari. 
Di kediaman seorang sufi agung, Abu Sa’id.

Hasan, murid Abu Sa’id, dicekam gundah. Ia terlilit hutang dan tak memiliki nyali untuk meminta pertolongan sang guru. Padahal, ia tahu betul, sang guru sangatlah waskita dan dermawan.

Hasan, sesaat lagi akan datang seorang tamu. Temuilah dia, berkhidmatlah padanya,” perintah Abu Sa’id, dalam suara lembut, membuyarkan lamunan sang murid.

Sejurus kemudian, seorang  wanita tua datang bertamu. Setelah Hasan menyajikan baginya secangkir teh hangat, si wanita tua menyerahkan tas kepada Hasan. “Ku mohon, berikanlah tas berisi uang emas ini kepada guru Anda, Abu Sa’id. Beliau telah memberkati hidup saya dengan doanya. Dan, pemberian ini adalah wujud terima kasih saya kepada beliau. Selanjutnya, saya mohon pamit.”

Lalu, bergelayutlah, dalam pikiran Hasan, hubungan antara koin emas itu dengan hutang yang melilitnya. Wanita tua itu tampak bagai ‘kurir dari langit’ yang membawa solusi gembira baginya. Ia lantas bergegas membawa tas tersebut kepada Abu Sa’id. Berlimpah senyum. Penuh harap.

Syahdan,  Hasan harus membuang jauh harapan muluknya. Abu Sa’id ternyata miliki rencana lain. Sang syeikh menyuruh Hasan pergi ke sebuah bangunan tua yang terletak di sudut pemakaman kota. Di sana Hasan harus menemui seorang lelaki tua yang sedang terlelap. Hasan akan membangunkan dan menyerahkan semua koin emas itu kepadanya. Hasan tak menolak. Baginya melaksanakan titah guru adalah keberkahan.

Begitulah.

Hasan akhirnya menemukan lelaki tua yang dimaksud, sedang lelap memeluk gitar lusuh di sudut makam yang gulita. Si lelaki tua menangis tersedu ketika Hasan memberikan koin emas. Ia memohon agar Hasan dapat membawanya menemui Abu Sa’id.

Di dalam perjalanan menuju kediaman Abu Sa’id,  lelaki tua itu bercerita kepada Hasan, “Dulu saya seorang musisi. Ketika masih muda, saya terkenal dan punya banyak penggemar. Saya mendapat bayaran yang bagus dan kerap diundang di banyak pesta dan acara. Seiring usia, popularitas saya memudar. Sekarang,  tak ada lagi yang mengundang saya bernyanyi. Saya terdepak dari gemerlap dunia dan bahkan dari kehidupan keluarga sendiri. Bangunan kumuh tadi adalah  satu-satunya tempat yang bisa saya tinggali. Sehari-hari saya  mengemis untuk bertahan hidup.  Ia menarik nafas panjang.

Lalu, “Sedari siang tadi, saya didera lelah, lapar, dan putus asa. Saya tidak tahu mesti mengadu kepada siapa lagi kecuali kepada Allah. Dalam doa sendu, saya mengeluh kepada-Nya. Saya katakana, tak ada lagi yang mau mendengar saya bernyanyi. Lalu terlintas sebuah pikiran aneh. Mengapa saya tidak coba bernyanyi untuk Tuhan dan meminta bayaran dari-Nya?  Saya lantas memetik gitar, bernyanyi sebisa mungkin, dan menangis sepanjang petang hingga akhirnya tertidur.  Lalu, seperti mimpi yang menjelma nyata! Engkau datang, membangunkanku, dan memberiku tas berisi koin emas. 

Akhirnya mereka tiba di kediaman sang guru. Begitu melihat Abu Sa’id, si lelaki tua bersimpuh. Dari mulutnya tak henti terdengar ucapan terima kasih. Ia lalu memohon agar Abu Sa’id berkenan mendoakannya. Abu Sa’id memenuhi pinta si lelaki tua  dan memperlakukannya dengan segala keramahan. Di puncak malam, lelaki tua itu undur diri.

Tinggallah Hasan dan gurunya, Abu Sa’id. Pikiran Hasan bergemuruh. Adakah ini waktu yang tepat untuk meminta pertolongan sang guru? Pastilah gurunya itu memiliki uang, atau paling tidak solusi yang menyenangkan?

Belum sempat Hasan mengungkapkan gemuruh pikirannya. Sang guru memberinya tatapan hangat. Dalam lembut suara  berkata, “Belajarlah dari si pemusik tua itu. Allah tidak akan pernah meninggalkan setiap jiwa yang meyakini keberadaan-Nya. Allah yang telah mengirimkan koin emas itu kepadanya, dan Allah pula yang akan mengirimkannya untukmu. Belajarlah.”

...And no one has ever lost when he has put his trust in God...

Disadur sekenanya oleh Dedi Irwansyah.

Wednesday 7 June 2017

The Power of Sholawat (Part Three)


Begitulah.
Di malam yang sama. Di negeri yang madani itu.  Rasulullah  hadir di ruang mimpi si lelaki miskin, si hakim, dan si saudagar. Kehadiran sang Nabi, tanpa diketahui banyak orang,  juga  telah membawa kabar gembira kepada raja negeri itu.

Kepada sang hakim, Rasulullah saw datang dan memintanya untuk membayar hutang si miskin. Si hakim senang bukan kepalang. Ia merasa bahagia dapat bertemu Rasulullah dalam mimpinya. Ia senang karena dapat melakukan apa yang dituntunkan oleh sang Nabi.

Kepada sang saudagar, Rasulullah datang untuk memintanya membebaskan si miskin dari hutang 500 keping emas itu. Sama seperti sang hakim, ia  juga melonjak girang karena bermimpi bertemu sang Nabi. Sesuatu yang dirindukan oleh semua pemeluk Islam.
Sekian.

Epilog:
Malam beranjak menuju puncak.  Angin, berhembus dingin, mata siapa saja untuk terpejam. Seorang raja saleh tak kuasa jatuh tertidur di hitungan ke-500 dari sholawat yang ia lantunkan secara rahasia. Ketika adzan subuh membangunkannya, ia murung karena tadi malam ia seharusnya melantunkan 1000 sholawat.

Di pagi hari, kemurungan sang raja musnah setelah seorang lelaki miskin datang dan menceritakan mimpinya tadi malam. Si lelaki miskin bertutur lirih kepadanya, “Sholawat dari Paduka disaksikan oleh Baginda Nabi. 500 sholawat akan dianggap sebagai 1000 sholawat jika Paduka berkenan membantu hamba melunasi hutang sebesar 500 keping emas.”

Bagi sang raja, itu adalah berita terindah yang pernah didengarnya.

‘alan nabiy sholawaat


Retold freely by Dedi Irwansyah

Bela Diri di Perumahan Metro Indah

Prolog Anak-anak kini semakin rentan di-bully oleh sebaya atau pun orang dewasa. Anak-anak di Perumahan Metro Indah, bukanlah pengecualian....