Thursday 8 June 2017

Sufi dan Musisi Tua

Seorang sahabat mengirimkan saya sebuah buku bagus berjudul Tales from the Land of the Sufis karangan Bayat, M. & Jamnia, M.A.(1994). Kisah yang saya sadur berikut ini bersumber dari buku keren itu. Semoga kebaikan penceritaan ulang ini dialirkan kepada sahabat saya itu. Here we go ...



No one has ever lost when he has put his trust in God” (Abu Sa’id, a Sufi)


Petang hari. 
Di kediaman seorang sufi agung, Abu Sa’id.

Hasan, murid Abu Sa’id, dicekam gundah. Ia terlilit hutang dan tak memiliki nyali untuk meminta pertolongan sang guru. Padahal, ia tahu betul, sang guru sangatlah waskita dan dermawan.

Hasan, sesaat lagi akan datang seorang tamu. Temuilah dia, berkhidmatlah padanya,” perintah Abu Sa’id, dalam suara lembut, membuyarkan lamunan sang murid.

Sejurus kemudian, seorang  wanita tua datang bertamu. Setelah Hasan menyajikan baginya secangkir teh hangat, si wanita tua menyerahkan tas kepada Hasan. “Ku mohon, berikanlah tas berisi uang emas ini kepada guru Anda, Abu Sa’id. Beliau telah memberkati hidup saya dengan doanya. Dan, pemberian ini adalah wujud terima kasih saya kepada beliau. Selanjutnya, saya mohon pamit.”

Lalu, bergelayutlah, dalam pikiran Hasan, hubungan antara koin emas itu dengan hutang yang melilitnya. Wanita tua itu tampak bagai ‘kurir dari langit’ yang membawa solusi gembira baginya. Ia lantas bergegas membawa tas tersebut kepada Abu Sa’id. Berlimpah senyum. Penuh harap.

Syahdan,  Hasan harus membuang jauh harapan muluknya. Abu Sa’id ternyata miliki rencana lain. Sang syeikh menyuruh Hasan pergi ke sebuah bangunan tua yang terletak di sudut pemakaman kota. Di sana Hasan harus menemui seorang lelaki tua yang sedang terlelap. Hasan akan membangunkan dan menyerahkan semua koin emas itu kepadanya. Hasan tak menolak. Baginya melaksanakan titah guru adalah keberkahan.

Begitulah.

Hasan akhirnya menemukan lelaki tua yang dimaksud, sedang lelap memeluk gitar lusuh di sudut makam yang gulita. Si lelaki tua menangis tersedu ketika Hasan memberikan koin emas. Ia memohon agar Hasan dapat membawanya menemui Abu Sa’id.

Di dalam perjalanan menuju kediaman Abu Sa’id,  lelaki tua itu bercerita kepada Hasan, “Dulu saya seorang musisi. Ketika masih muda, saya terkenal dan punya banyak penggemar. Saya mendapat bayaran yang bagus dan kerap diundang di banyak pesta dan acara. Seiring usia, popularitas saya memudar. Sekarang,  tak ada lagi yang mengundang saya bernyanyi. Saya terdepak dari gemerlap dunia dan bahkan dari kehidupan keluarga sendiri. Bangunan kumuh tadi adalah  satu-satunya tempat yang bisa saya tinggali. Sehari-hari saya  mengemis untuk bertahan hidup.  Ia menarik nafas panjang.

Lalu, “Sedari siang tadi, saya didera lelah, lapar, dan putus asa. Saya tidak tahu mesti mengadu kepada siapa lagi kecuali kepada Allah. Dalam doa sendu, saya mengeluh kepada-Nya. Saya katakana, tak ada lagi yang mau mendengar saya bernyanyi. Lalu terlintas sebuah pikiran aneh. Mengapa saya tidak coba bernyanyi untuk Tuhan dan meminta bayaran dari-Nya?  Saya lantas memetik gitar, bernyanyi sebisa mungkin, dan menangis sepanjang petang hingga akhirnya tertidur.  Lalu, seperti mimpi yang menjelma nyata! Engkau datang, membangunkanku, dan memberiku tas berisi koin emas. 

Akhirnya mereka tiba di kediaman sang guru. Begitu melihat Abu Sa’id, si lelaki tua bersimpuh. Dari mulutnya tak henti terdengar ucapan terima kasih. Ia lalu memohon agar Abu Sa’id berkenan mendoakannya. Abu Sa’id memenuhi pinta si lelaki tua  dan memperlakukannya dengan segala keramahan. Di puncak malam, lelaki tua itu undur diri.

Tinggallah Hasan dan gurunya, Abu Sa’id. Pikiran Hasan bergemuruh. Adakah ini waktu yang tepat untuk meminta pertolongan sang guru? Pastilah gurunya itu memiliki uang, atau paling tidak solusi yang menyenangkan?

Belum sempat Hasan mengungkapkan gemuruh pikirannya. Sang guru memberinya tatapan hangat. Dalam lembut suara  berkata, “Belajarlah dari si pemusik tua itu. Allah tidak akan pernah meninggalkan setiap jiwa yang meyakini keberadaan-Nya. Allah yang telah mengirimkan koin emas itu kepadanya, dan Allah pula yang akan mengirimkannya untukmu. Belajarlah.”

...And no one has ever lost when he has put his trust in God...

Disadur sekenanya oleh Dedi Irwansyah.

No comments:

Post a Comment

Bela Diri di Perumahan Metro Indah

Prolog Anak-anak kini semakin rentan di-bully oleh sebaya atau pun orang dewasa. Anak-anak di Perumahan Metro Indah, bukanlah pengecualian....